EkSpReSiQ

EkSpReSiQ
Ngantor ala Bisnis d'BCN

Sabtu, 27 Maret 2010

Cerpen

Uang Dito

Sesosok anak lelaki dekil penampilannya pulang ke rumah dengan langkah lunglai. Sesampainya di rumah, sang ibu langsung bertanya “Kamu kenapa nak? Pulang main dari rumah teman kok murung gitu?” “Aduh bu, gimana nggak murung muka anak ibu yang paling tampan ini? Hehehehe” canda anak lelaki itu. Inilah Dito, anak tunggal yang humoris dari ayah seorang tukang becak dan ibu rumah tangga biasa. Kemudian anak lelaki tersebut, Dito, melanjutkan perkataannya setelah melihat ibunya tertawa mendengar candanya “Aku tadi kan main di rumah Tono sama Basil, Igor, dan Zuhri. Saat asyik bermain dengan mainan Tono eh.... tiba-tiba ibu Tono datang dari kantornya dan bilang sama Basil, Igor, Zuhri dan aku untuk tidak memakai mainan Tono dan kita disuruh pulang.” "Oalaha nak, nggak usah dipikirin, toh emang itu bukan mainanmu. kalau memang itu mainan Tono, ya ibunya Tono juga punya hak untuk mengatur mainan anaknya. sudah, nggak usah dipikirin. makan sana. ibu udah siapin makanan kesukaan kamu." ucap ibu Dito. "Ah, beneran bu. ibu memang ngerti apa yang aku mau." balas Dito. lalu ibu Dito membalas ucapan Dito dengan "ya, iyalah. ibukan, ibunya Dito. jadi tahu apa yang Dito mau donk."
Keesokkan harinya, sepulang sekolah Dito menemukan dompet yang usang di jalan, dia melihat di kanan (sepi), di kiri (hening), baik di kanan maupun di kiri tidak ada orang lain selain Dito. Ia melihat di dalam dompet tersebut ia menemukan selembar uang lima ribu rupiah yang sudah lusuh serta hampir sobek dan beberapa kartu, yang Dito tidak tahu digunakan untuk apa. Akhirnya ia putuskan untuk membawa pulang uang tersebut.
“Kebetulan aku sedang menginginkan mobil-mobilan seperti punya teman-temanku. Aku pakai saja uang ini, aku kira orang yang mempunyai uang ini tidak akan mencarinya, kan uang ini juga sangat lusuh. Jadi aku pakai saja mumpung masih bisa digunakan.” Pikirnya dalam hati. “Tapi sayang toko mainannya hari ini tutup, jadi besok saja aku beli.”
Sesampainya di rumah, Dito meletakkan uang itu di bawah bantalnya, karena ia pikir itulah tempat yang aman. Setelah sholat dan makan siang, iapun tidur. Dito tidak tenang dalam tidurnya. Ia bermimpi dompet yang ia temukan tadi mengejarnya dan berteriak dengan keras “Kembalikan kami, kembalikan kami.” Dito pun bangun sambil berteriak “Jangan…., jangan sakiti aku.” Karena teriakan Dito itu, ibunya bertanya “Ada apa Dito, kenapa kamu berteriak-teriak seperti itu?.” Dito pun menjelaskan mimpinya dan masalah dompet yang ia temukan kepada ibunya.
Ibunya pun berkata “Makanya Dito, kalau menemukan barang itu langsung dikembalikan kepada yang punya. Tapi kalau memang kita tidak tahu siapa yang punya kita serahkan saja ke kantor polisi.” Hening......Dito pun memikirkan apa yang baru saja ibunya katakan. Ibunya pun kembali bertanya ”Dit, kok malah diam saja. Ibu kan tidak pernah mengajarkan kamu untuk mengambil barang yang bukan milik kamu.” “Baiklah bu, kalau begitu sekarang saya akan ke kantor polisi untuk menyerahkan dompet ini.” Kata Dito. “Apa kamu mau ibu antar ke kantor polisi nak?” tanya ibu Dito.
Baiklah nak, hati-hati di jalan.” Kata ibunya. “Ya bu.” Jawab Dito.
Beberapa hari kemudian tiba-tiba ada tamu yang mencari Dito. Tamu tersebut berkata “Terima kasih nak, karena telah menyerahkan dompet saya yang terjatuh ke kantor polisi sehingga saya bisa menemukannya. Di dalam dompet ini memang uangnya tidak penting, tetapi kartu-kartunya yang penting buat saya.” “Ini ada sebuah hadiah, sebagai ucapan terima kasih saya.” Kata sang tamu sambil memberikan bingkisan. “Oh, sama-sama pak. Terima kasih atas pemberiannya. Memang merupakan kewajiban setiap orang untuk mengembalikan barang yang bukan miliknya.” Jawab Dito. “Baiklah saya permisi dulu.” Kata sang tamu sambil berlalu pergi.
Dito pun langsung membuka hadiah tersebut dan betapa senangnya ia karena hadiah tersebut adalah mobil-mobilan yang ia inginkan.
CREATED BY :
DAD



PENGAMEN JUGA INGIN SEKOLAH

Di sudut kampung yang kumuh, duduklah seorang anak termenung menatap langit. Dia terlihat lusuh dan sedih. Bagaimana tidak, hidupnya yang ia rasa sudah sengsara, ternyata bertambah sengsara dikarenakan ayahnya baru saja meninggal dunia. Dia bergumam, “Ayah, mengapa ayah meninggalkan aku dan ibu? Apakah ayah tidak sayang padaku dan ibu?” 59
Tiba-tiba ibunya menghampirinya dan berkata, “Sedang apa di sini Din?” Dini yang sedang melamun, kaget mendengar suara dan tanpa ia lihat sampingnya, langsung berdiri dan dengan sumingrahnya ia lantas berkata, “Ayah, kaukah itu?” “Waduh...., Dini kamu sedang melamun ya? Masak ibu kamu panggil ayah, kan suara ibumu yang cantik ini sudah pasti berbeda dengan suara ayahmu yang besar kayak raksasa itu?” Canda ibu Dini. “Ah, ibu kok gitu sih, ayahkan sudah meninggal? Kok ibu kayak gitu sih?” Kata Dini dengan lugunya. “Nah itu kamu tahu, kalau ayah kamu sudah meninggal, kenapa kamu masih memikirkan ayahmu yang sudah bahagia berada di sisi Tuhan?” Nasihat ibunya. “Habisnya Dini bingung, sewaktu ayah masih hidup saja kita sudah hidup pas-pasan, apalagi sekarang setelah ayah telah tiada? Mana sebentar lagi Dini kan mau masuk sekolah? Nanti yang biayain Dini sekolah siapa?” Ucap Dini panjang lebar. “Sudahlah nak, kita tidak boleh membuat ayahmu sedih di alam sana. Urusan biaya sekolahmu, biarlah ibu yang mengurusnya. Kamu belajar saja yang rajin agar nanti saat kamu sudah sekolah dapat mengikuti pelajaran yang diberikan.” Kata ibu Dini. “Ya bu, Dini siap melaksanakan perintah ibu.” Ucap Dini memberi hormat kepada ibunya layaknya prajurit menerima perintah dari komandannya. 107
Bulan-bulan selanjutnya Dini mengamati dan merasa ibunya selalu terlihat kecapekan dan kelelahan sepulang kerja. Ia bergumam, “Setiap kali ibu pulang kerja selalu terlihat capek dan lelah. Udah gitu badan ibu semakin hari semakin kurus. Kasihan, ibuku melakukan semua ini untuk menghidupi kami berdua. Belum lagi biaya untuk aku masuk sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi.” Suasana menjadi hening. Tiba-tiba Dini melompat sambil berteriak, “Aha, bagaimana kalau sewaktu ibu sedang bekerja aku membantu ibu mencari uang dengan mengamen tanpa sepengetahuan ibu! Kan Tita, temenku, banyak yang mengamen karena disuruh oleh orang tuanya. Aku kan bisa bertanya padanya bagaimana caranya mengamen itu?” 62
Setelah itu Dini langsung mencari temannya yang bernama Tita. Ia sampai lupa jika hari sudah hampir tengah malam. Dini berteriak dengan kerasnya, “Tita..., Tit, Tit, Tita...!!.” Tanpa babibu, mendaratlah sebuah bantal untuk Dini dari tetangga Tita dengan teriakan, “Hei, apa kamu nggak punya jam di rumah? Sekarang itu sudah waktunya tidur, ngapain sih teriak malam-malam?” Setelah teriakan tetangga rumah Tita, akhirnya Tita keluar dari rumahnya sambil berkata, “Ngapain sih Din, malam-malam kayak gini, kamu panggil-panggil namaku? Kangen ya sama aku?” “Idih, nggak lah yau…. Jijai bajai tahu….” Gurau Dini. “Aku tuh mau tanya sama kamu, gimana sih caranya ngamen? Aku pingin ngamen nih.” Jelas Dini. “Oalah, itu to masalahnya. Kenapa sih nggak besok aja? Besok aja aku ke rumahmu dan ajak kamu untuk mengamen. Sekarang kamu pulang dulu. Kamu tadi sudah menerima hadiah kan dari tetanggaku. Dilempar apa kamu tadi?” Ujar Tita sambil sedikit berbisik. “Bantal.” Kata Dini. “Ehm, untung bantal, kemarin ada saudara tetanggaku yang ingin mengabarkan kalau istrinya sudah melahirkan, dilempar sama sepatu. Uh…apa nggak sakit tuh?. Udah deh, mending sekarang kamu pulang daripada dapatin hadiah yang lain dari tetanggaku. Aku janji deh, sebelum aku berangkat ngamen, aku ke rumahmu. Ok.” Jelas Tita. “Ok deh.” Ucap Dini dengan pelan karena takut mendengar cerita Tita mengenai tetangganya. Setelah berpamitan dengan Tita, Dini pun segera pulang ke rumah. Di jalan ia berpikir, “Kalau aku tadi ditimpuk sepatu…… Ih……nggak kebayang nih, kepalaku jadi apa, jadi sebesar bola sepak kali, karena saking besarnya benjolnya.” 252
Keesokan harinya, setelah ibunya berangkat kerja, beberapa menit kemudian Tita datang sesuai dengan janjinya. Tanpa menunggu dipersilahkan duduk Tita langsung duduk di kursi ruang tamu di rumah Dini yang memang cuma 2 buah. Serempak dengan Tita duduk, kursi itu berderik dengan kencang karena kereotannya. “Nah, kalau gini ngomonginnya kan enak. Emangnya kenapa sih kamu mau ngamen. Kan ibumu tidak menyuruhmu untuk mengamen seperti orang tuaku?” Tanya Tita. “Justru itu, aku tidak mau ibuku tahu kalau aku mengamen, makanya aku tanya kamu gimana caranya mengamen. Karena selama ini, semenjak ayahku meninggal, aku merasa ibuku terlalu berat menanggung beban hidup kami berdua sendirian. Selain itu aku juga ingin dapat uang untuk biayaku masuk sekolah.” Ucap Dini. “Memangnya ibu kamu ngebolehin kamu untuk sekolah?” Tanya Tita. Dini hanya mengangguk. “Ih….enak ya kamu, ibu kamu bolehin kamu sekolah. Orang tuaku nggak bolehin aku sekolah. Kata ayahku, ‘Ngapain sih sekolah, kerja kan enak bisa dapat duit. Kamu nggak lihat apa, kalau bapak dan ibu susah payah untuk menghidupi kamu dan kelima saudaramu? Kakak-kakakmu saja tidak pernah protes untuk bekerja mencari uang.’ Gitu kata ayahku.” Ucap Tita sambil menirukan ucapan dan tingkah ayahnya. “Ih….waw….ngomong sih boleh bersemangat tapi jangan pake kuah donk. Hehehehe.” Gurau Dini. “Ih, kok gitu sih??. Aku nggak bakalan ajarin kamu ngamen lo!.” Ucap Tita sambil cemberut. “Ah, aku kan cuma bercanda kok. Ayo ah, kita segera pergi ngamen. Jadi kamu nggak perlu cuma jelasin gimana caranya ngamen tapi juga langsung praktek ngamennya juga.” Canda Dini. “Ok deh, kalau gitu. Let’s go!!.” Kata Tita. “Widih canggih bener kata-kata kamu. Dapat darimana tuh?.” Canda Dini lagi. “Ah, jangan gitu donk. Aku kan tahu kata-kata itu sendiri, nggak dapat dari mana-mana. Tapi tahunya dari orang-orang sih. Hehehehe.” Balas canda dari Tita. “Udah ah, kalau bercanda terus kapan kita berangkat ngamennya. Nanti keburu ibuku pulang kerja.” Kata Dini. “Ok deh.” Sahut Tita. 331
Selama perjalanan ke tempat biasanya Tita ngamen, Tita menjelaskan bagaimana caranya mengamen yang baik dan benar kepada Dini. “Langkah pertama untuk mengamen dengan baik dan benar adalah…” penjelasan Tita belum selesai, tiba-tiba Dini memotong penjelasan Tita, “Walah pake langkah-langkah yang baik dan benar. Memangnya kita ini mau bikin makalah apa?. Hehehe.” “Lo, kita sebagai pengamen yang berkualitas harus memperhatikan prosedur yang baik dan benar. Mau dilanjutin nggak?.” Tanya Tita. “Mau-mau.” Jawab Dini. 87
“Pertama kita harus mempersiapkan alat musik dan vokal kita, agar para pendengar kita tidak kecewa telah memberi kita uang. Kemudian langkah yang kedua, cari lokasi yang ramai, seperti pepatah, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Jadi kita sekali ngamen tapi yang kita mintai uang banyak orang jadi nggak sekali ngamen dapatnya cuma sekali. Udah gitu kita tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga, seperti yang ngamen-ngamen dari rumah ke rumah alias door to door yang terkadang udah nyanyi lama tapi nggak dapat apa-apa. Cie….bahasaku bagus ya. Baru belajar nih dari omongan orang lain.“ gurau Tita. Dini hanya bisa menggeleng melihat tingkah temannya. 105
“Yang ketiga, kita cari tempat yang tidak terlihat pengamen lainnya sedang mengamen. Sehingga tempat itu merupakan lahan kita untuk mengamen. Yang keempat, kita tidak boleh merebut lahan pengamen lain. Misalnya mereka sedang mengamen, kita tiba-tiba ikut mengamen. Itu nggak boleh, karena dalam dunia mengamen juga ada tata kramanya. Kalaupun memang di tempat itu merupakan tempat dari langkah pertama, yang ramai, tetapi sedang ada pengamen lain yang sedang mengamen, ya kita coba cari tempat yang lain dulu, baru kemudian kembali lagi ke tempat itu untuk mengamen. Lalu yang kelima, jangan pernah ngamen di lampu merah. Karena selain berbahaya, tempat itu juga bukan tempat yang sesuai dengan langkah pertama, tapi juga takutnya kalau-kalau ada trantip lewat, kita bisa dibawa ke lembaga permasyarakatan. Gitu langkah-langkah yang harus dilakukan pengamen yang baik dan benar. Sekarang kamu sudah ngerti belum?.” Jelas Tita panjang lebar. Dina hanya bisa menggeleng karena dia memang tidak mengerti apa yang harus dia lakukan karena saking panjangnya langkah-langkah yang harus ditempuhnya untuk menjadi pengamen. “Aduh, gila aja lo….. Aku udah jelasin panjang lebar, kamu nggak ngerti sama sekali. Ya udah deh, biarkan waktu yang menjelaskannya padamu. Nanti kamu juga bakalan ngerti sendiri. Ayo, sekarang kita mulai mengamen. Lihat!! Halte itu kelihatannya ramai, kita ngamen di sana aja untuk kerja mengamenmu yang pertama kali. Nih, kecrekannya, udah aku bawain. Kalau para tentara pistol kan senjata wajib mereka, kalau ini merupakan senjata wajibnya bagi para pengamen.” Kata Tita sambil menyerahkan kecrekannya. 245
Segera saja mereka menuju halte tersebut sebelum ada pengamen lain yang mengambil lahan mereka. Saat mereka sedang asyik mengamen, tiba-tiba datang segerumbulan anak berseragam sekolah datang di halte tersebut. Dini memandang mereka dengan terpaku, hingga ia lupa jika ia sedang mengamen sehingga bunyi ngamenan mereka nggak karuan. Tita yang mengetahui hal tersebut, langsung meminta uang saja kepada orang-orang yang ada di halte tersebut sebelum mereka marah-marah karena ngamenan mereka tidak bagus, lalu menarik Dini yang sedang terpaku menatap anak-anak tadi. 85
“Kamu kenapa sih Din?. Kok melamun di saat karier kamu sebagai pengamen baru dimulai?. Nanti itu bias membuat kariermu tidak akan awet.” Tanya Tita. Dini hanya diam saja dan masih terlihat melamun. Tita pun menggoyang-goyangkan badan Dini. Dini baru tersadar dan berkata, “Eh, ada apa Tit?. Lho kok kita udah selesai ngamen di haltenya?. Memangnya kita sudah dapat uangnya?.” “Aduh Din, gini nih, kalau kerja sambil melamun. Ngamen di haltenya sudah selesai. Nih uangnya kalau nggak percaya.” Tita menyodorkan tempat uang mereka. “Kamu kenapa sih melamun?.” Tanya Tita. “Nggak aku nggak melamun. Kamu tadi lihat kan ada sekelompok anak yang kelihatannya akan berangkat sekolah?.” Tanya Dini. “Lihat, memangnya kenapa?.” Sahut Tita dengan penasaran. “Aku cuma berpikir, apa aku bisa seperti mereka? Aku juga membayangkan akan seperti apakah aku saat mengenakan seragam itu?.” Ucap Dini. “Walah itu to yang kamu pikirin.” Kata Tita sambil memukul kepalanya. “Capek deh! Hal itu nggak usah kamu pikirin sekarang. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah gimana caranya mendapatkan uang yang cukup untuk membantu ibumu mendaftarkan kamu sekolah.” Jelas Tita. “Ayo kita ngamen lagi. Itu ada tempat yang ramai lagi.” Ajak Tita dan Dini hanya ikut menurut saja.
Setelah beberapa jam mereka mengamen dan dirasa hasil mengamen mereka sudah cukup untuk hari ini, mereka pun beristirahat sambil menghitung hasil kerja keras mereka. “Waduh hebat banget kamu Din, baru pertama ngamen hasilnya sudah sebanyak ini.” Puji Tita pada Dini. “Ah, nggak ini semua juga berkat kamu.” Balas Dini. Saat mereka sedang asyik mengobrol tiba-tiba datang segerombolan anak pengamen menghampiri mereka. “Eh, Tita kamu sama siapa tuh? Kayaknya aku kita belum pernah bertemu dengannya?. Iya nggak teman-teman?.” Tanya salah seorang dari mereka dan dijawab serentak oleh anak-anak yang lain. “Ini temanku Dini, dia baru kali ini ngamen. Memangnya kenapa?.” Jawab Tita. “Oh…pantes, kelihatan nggak berpengalaman. Kamu ngapain ngamen?.” “Aku mengamen karena aku ingin membantu ibuku mengumpulkan uang untuk membiayaiku masuk sekolah.” Jawab Dini. Tiba-tiba mereka menertawakan Dini, “Hahahahaha. Ngapain kamu sekolah kan lebih baik cari duit untuk kita senang-senang. Aku aja disuruh orang tuaku sekolah, tapi nggak mau sekolah. Kita ini kan anak dari keluarga yang tidak mampu, ngapain repot-repot sekolah nanti malahan nambah beban ortu kamu. Kalau kamu tujuannya kayak gitu mendingan bggak usah mengamen, ngurangi jatah kita aja. Ya nggak teman-teman?.” Dan seperti sebelumnya anak-anak yang lainnya cuma mengiyakan. “Memangnya kamu sudah memberi tahu orang tua kamu kalau kamu mengamen?.” Tanya anak itu lagi. “Belum, memangnya kenapa?.” Jawab Dini. “Wah, kesempatan nih, aku bakalan bilangin orang tuamu biar kamu nggak dibolehin ngamen jadi jatah kita tetap. Ya nggak teman-teman?.” Dan seperti yang tadi-tadi anak-anak yang lainnya cuma mengiyakan.”Jangan kasih tahu ibuku!!” teriak Dini. “Ayo teman-teman kita pergi!” kata anak itu. “Sudahlah Din, kamu nggak usah mikirin kata-kata Sela. Dia memang sok berkuasa diantara para pengamen yang lain. Ayo sekarang kita cari makan dulu baru kemudian kita pulang. Sebelum ibu kamu pulang. Oh ya, nih uang ngamennya. Untuk kamu saja, kamu lebih membutuhkannya.” Tita menyerahkan uang hasil mengamen mereka kepada Dini. “Tapi nanti kamu gimana kalau ditanyain ortu kamu soal hasil mengamen hari ini?.” Tanya Dini. “Ala….nggak usah dipikirin. Aku sih masih ada simpanan, kalau nggak ya aku bilang aja kalau uangnya sudah aku gunain untuk yang lainnya. Orang tuaku nggak bakalan marah, yang penting itu aku nggak ngerepotin mereka.” Kata Tita. “Makasih ya Tit. Kalau gitu ayo cari makan, aku yang traktir deh. Kan hari ini hari pertama aku dapat penghasilan sendiri.” Kata Dini. “Ayo….tapi aku nggak tanggung kalau aku makannya banyak lo ya!.” Gurau Tita. “Oke deh, terserah kamu.” Jawab Dini.
Sesampainya di rumah ternyata ibunya sudah menunggunya di ruang tamu dan mengetahui Dini telah datang ibunya segera bangkit dari kursi dan bertanya kepada Dini, “Habis dari mana kamu, jam segini baru pulang?.” “Habis jalan-jalan sama Tita bu.” Jawab Dini. “Ibu dengar dari anak-anak yang lain kalau kamu hari ini pergi mengamen, apa betul itu?.” Tanya ibu Dini semakin galak. “I…iya bu.” Jawab Dini dengan ketakutan. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau ngamen? Ibu kan jadi khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu. Memangnya kenapa kamu mau mengamen?.” Ucap ibu Dini dengan lembut, berbeda dengan yang dipikirkan Dini kalau-kalau ibunya bakalan marah besar dengannya. “Aku ingin membantu ibu untuk mengumpulkan uang agar aku bisa bersekolah.” Jawab Dini tanpa ragu-ragu. “Kamu benar-benar ingin membantu ibu?” Tanya ibu Dini dan Dini hanya mengangguk. “Oh… terima kasih ya nak, kamu sudah mau membantu ibu. Ibu akan merestui apa yang akan kamu lakukan nak. Sekarang sudah malam, kamu tidur sana. Biar kamu besok dapat berangkat ngamen lebih pagi dan mendapatkan uang yang lebih banyak daripada hari ini.” Ucap ibu Dini. Dini pun berpamitan pada ibunya untuk tidur.
Keesokannya Dini yang menjemput Tita. Tita pun bingung, “Lho, bukannya kamu harus nunggu ibu kamu berangkat kerja dulu. Kok sekarang kamu malah yang jemput aku sepagi ini.” “Ah, itu semua karena si Sela yang memberitahukan kalau aku mengamen kepada ibuku. Aku pikir ibuku akan marah. Eh, ibuku ternyata malah mendukungku.” Ucap Dini. “Oh…. Ya udah ayo kita ngamen sekarang.” Ajak Tita. Mereka pun segera mengamen di tempat-tempat yang ramai. Saat mereka sedang beristirahat, seperti kemarin, mereka bertemu dengan Sela dan teman-temannya. Sela berkata, “Eh, kamu lagi. Anak pengamen yang mau sekolah. Kenapa kamu masih di sini?. Kan aku sudah memberitahu ibumu.” Dini pun menjawabnya, “Kalau aku masih mau di sini memangnya kenapa?. Oh, ya makasih atas pemberitahuanmu pada ibuku, karena dengan begitu ibuku malah merestui aku.” Ejek Dini sambil menjulurkan lidahnya. Sela dan teman-temannya pun langsung bergegas pergi sambil membawa malu. “Wah, hebat kamu Din. Kamu bisa membuat Sela dan teman-temannya pergi dengan muka cemberu seperti itu.” Kata Tita memberi tepuk tangan untuk Dini. “Udah ah, nggak usah ngomongin mereka lagi. Kita ngamen lagi yuk!.” Kata Dini. Akhirnya mereka pun melanjutkan ngamennya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, minggu pun menjadi bulan, saat pendaftaran sekolah pun dimulai dan uang yang dikumpulkan oleh Dini dan ibunya pun telah cukup. Mereka telah membeli seragam sekolah, buku-buku bekas, dan pensil yang hampir habis serta peralatan sekolah lainnya. Inilah hari pertama sekolah bagi Dini. Hari pertama ini merupakan hari yang menyenangkan baginya karena ia akan mendapatkan teman-teman yang baru. Dan akhirnya karena kecerian, kehangatan, serta sifatnya yang menyenangkan dihadapan teman-teman barunya, ia segera mendapatkan banyak teman. Tanpa terasa sudah saatnya ia pulang sekolah.
Sesampainya di rumah, Dini segera berganti pakaian dan mengambil senjatanya sebelum ia berperang untuk mendapatkan uang. Dia mencari Tita di tempat biasanya mereka mengamen untuk menjelaskan pengalaman hari pertama sekolahnya. Akhirnya Dini menemukan Tita di tempat tersebut dan Tita pun kaget melihat Dini lalu bertanya, “Lho, kamu kok ada di sini? Kan kamu harusnya sekolah? Terus katanya ngamen cuma buat cari uang untuk masuk sekolah?. Kok masih ngamen sih katanya hari ini udah mulai sekolah?.” Tanya Tita panjang lebar. Dini pun menjawabnya, “Waduh, kamu tanya kok kanyak peluru yang ditembakkan aja. Dor-dor-dor-dor…. Nggak ada jedanya.” Dengan monyongnya Dini menirukan bunyi peluru dan berkata lagi, “Memang sih hari ini aku sudah masuk sekolah, tapi karena hari pertama pulangnya agak cepat. Aku ngamen itu memang awalnya hanya untuk mencari uang untuk membantu ibuku mencari biaya masuk sekolah, tapi aku pikir-pikir selama aku sekolah kan pasti juga membutuhkan biaya yang lain-lain, makanya aku masih pingin ngamen agar beban ibuku tidak terlalu berat. Selain itu nanti kalau aku nggak ada, kamu nanti kangen ma aku Tit.” Canda Dini. “Ih…narsis banget sih kamu. Bukannya kamu yang bakalan nggak bisa tidur karena nggak ketemu aku. Hehehehe.” Balas Tita. “Ih…waw….nggak banget deh.” Kata Dini. Mereka pun mulai bercanda-canda kembali.
Beberapa hari di sekolah sangat menyenangkan bagi Dini. Dia mudah sekali akrab dengan anak yang lain. Selain itu kepintarannya juga membuatnya semakin hari semakin banyak saja teman Dini. Karena hal tersebut akhirnya ada salah satu teman Dini, yang bernama Fia anak yang kaya tapi mempunyai teman sedikit, iri kepadanya. Bersama teman-temannya yang lain, yang sama-sama anak dari orang kayanya. “Hei….lihat tuh anak lusuh. Kenapa dia bisa punya teman sebanyak itu?.” Tanya Fia. “Ya, kenapa sih? Apa juga yang diunggulin dari dirinya?. Barang-barangnya biasa-biasa saja dan tidak bisa untuk dipamerin.” Kata salah satu teman Fia. “Kita kerjain dia yuk!.” “Kita cari aja topik untuk membuat dia jelek di mata anak-anak yang lain.” Sampai dengan pulang sekolah, mereka belum menemukan apa yang akan mereka lakukan terhadap Dini. “Gimana nih, udah waktunya pulang sekolah tetapi kita belum mengerjai dia?.” Kata Fia. “Udah deh, nggak usah kita pikirin dulu si anak lusuh itu. Kita pergi ke mal yuk! Aku pingin beli peralatan sekolah yang baru nih.” Kata salah satu teman Fia. “Ok deh.” Ucap mereka serempak.
Saat Fia dan teman-temannya akan pulang dari mal, mereka melihat di warung dekat pintu keluar mal, ada Dini yang sedang mengamen. Fia pun langsung berkomentar, “OMG, Oh My Good. Ternyata miss supel itu seorang pengamen!!.” “Wah, ini nih namanya berita besar. Kita harus segera berbuat sesuatu untuk memberitahu anak satu sekolah bahwa miss supel itu ternyata seorang pengamen, sehingga nggak akan ada anak yang mau dekat-dekat dengan dirinya lagi.” Kata salah satu teman Fia. “Beres deh.” Kata teman-teman Fia yang lain.
Keesokan harinya, sesampainya di sekolah Dini merasa ada yang aneh dengan dirinya karena semua anak menatapnya seolah-olah dia adalah alien. Sesaimpainya di kelas, Dini segera bertanya kepada Bianka, yang merupakan teman sebangkunya dan sahabatnya di sekolah ini, mengenai apa yang terjadi, “Bi, ini ada apa sih? Kok aku merasa semua anak memandangku aneh?.” “Apa benar kamu seorang pengamen?.” Tanya Bianka. “Memang iya, kamu nggak suka kalau aku seorang pengamen?.” Tanya Dini. “Enggak sih, aku suka kamu apa adanya. Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahu kami?.” Kata Bianka. “Kan kalian enggak tanya. Memangnya kenapa sih kalau aku pengamen?.” Tanya Dini. “Gini aja deh ikut aku, aku tunjukin sesuatu.” Ajak Bianka. Mereka pergi menuju lokasi madding di mana di madding tersebut terdapat tulisan yang besar, TERNYATA MISS SUPEL, DINI, MERUPAKAN SEORANG ANAK PENGAMEN JALANAN YANG IDENTIK DENGAN KEKERASAN DAN MENGHALALKAN SEGALA CARA UNTUK MENDAPATKAN SEGALA SESUATUNYA. MUNGKIN BARANG-BARANG DAN KEPINTARANNYA ITU DIKARENAKAN IA DAPAT DENGAN KEKERASAN. BERHATI-HATILAH KALIAN SEMUA. Itulah isi dari madding tersebut, “Pantas saja mereka semua memandangku aneh. Meskipun aku seorang pengamen aku nggak seperti itu. Kamu percaya itu kan Bi?.” Dini mencoba membela diri. “Aku percaya kok sama kamu. Ya udah biarin aja hal itu nggak usah dipikirin mungkin seminggu lagi mereka bakalan lupa.” Bianka mencoba menghibur Dini.
Seminggu telah berlalu tetapi nggak ada perubahan di sekolah Dini. Anak-anak yang lain masih menjaga jarak dengan Dini. Dini yang bingung pun bertanya kepada Bianka, “Bi, gimana nih?. Masak selamanya kayak gini?.” “Aku punya ide, gimana kalau kamu buktikan kalau kamu bisa melakukan hal yang tidak semua orang bisa? Misalnya seperti mengikuti lomba puisi, karena sebentar lagi akan ada lomba puisi untuk mewakili kelas di tingkat provinsi dan aku tahu kamu bisa berpuisi serta membuat puisinya. Jadi tunjukkan kalau kamu bisa melakukan hal itu tanpa melakukan kekerasan seperti yang mereka tuduhkan. Kamu harus berusaha untuk menghentikan ini semua.” Kata Bianka. Akhirnya lomba puisi pun tiba dan saat Dini membaca puisi yang ia buat sendiri, anak-anak yang lain pura-pura tidak mendengarkan. Tapi mereka akhirnya terpesona juga dengan puisi dan cara Dini membacakannya walaupun tidak ada tepuk tangan untuk Dini, Dini cukup puas karena ternyata anak-anak yang lain masih memperhatikannya.
Hasil lomba pun telah ditentukan bahwa yang mewakili sekolah untuk tingkat provinsi adalah Dini. Tak ada tepuk tangan dari anak yang lain, yang ada hanyalah teriakan “Huuuuuuuuu.” Tapi Dini tidak putus asa, dia terus berusaha, karena ia telah diberi mandate oleh sekolahnya. Dan ternyata tanpa Dini duga, tingkat provinsi dia pun dipilih untuk menjadi wakil provinsi untuk menuju tingkat nasional. Anak-anak yang percaya mengenai tulisan di madding waktu itu, mulai ragu, masak sampai dengan tingkat nasional Dini menggunakan kekerasan. Pengumuman pemenang tingkat nasional pun diumumkan dan ternyata Dinilah yang menjadi pemenangnya. Betapa gembiranya Dini, ia yang tujuannya hanya untuk membuktikan kepada teman-teman satu sekolahnya, karena jirih payahnya ia malah mendapatkan hal yang melebihi dari yang ia inginkan.
Pihak sekolah sangat bangga terhadap Dini, selesai upacara, Dini dipersilakan memberikan kesan dan pesannya. Dini pun memulainya, “Puji syukur kehadirat Tuhan YME, karena hanya dengan rahmat-Nyalah saya bisa seperti ini. Selanjutnya terima kasih kepada ayah saya yang telah tiada yang selalu memberi motivasi saya untuk selalu bersekolah dengan rajin dan ibu saya yang telah membiayai saya selama ini seorang diri. Kemudian kepada bapak-ibu guru yang telah memberikan bimbingan kepada saya. Selain itu teman-teman yang selalu memberi support untuk saya. Ehm… sebenarnya saya mengikuti lomba ini untuk membuktikan kepada teman-teman bahwa hal yang membuat kalian menjauhi saya itu adalah salah besar. Saya memang seorang pengamen, dikarenakan saya ingin membantu orang tua saya yang tinggal ibu saya, agar tidak terlalu berat menganggung beban kami berdua. Kan pengamen juga berhak untuk sekolah, lagipula mengamen itu pekerjaan yang halal. Tapi ternyata Tuhan memberi saya lebih dengan kemenangan ini. Setelah ini terserah kalian akan bersikap seperti apa kepada saya. Baiklah atas perhatiannya, sekian dan terima kasih.”
Lalu terdengar tepuk tangan yang riuh rendah dari anak yang lain. Serta ucapan-ucapan selamat dan minta maaf atas sikap mereka selama ini kepada Dini. Tak terkecuali Fia dan teman-temannya. “Din, maaf, sebenarnya yang menempel berita seperti itu di madding adalah kami.” Ucap Fia. “Maafkan kami yang telah meremehkanmu karena kami iri kepadamu. Maafkan kami ya?.” Ucap teman Fia. Lalu serempak Fia dan teman-temannya berkata, maafkan kami ya?.” “Ya, aku menghargai keberanian kalian untuk berkata jujur dan meminta maaf. Aku juga nggak terlalu memikirkan siapa yang melakukan ini tapi bagaiman cara menyelesaikan masalah ini.” Ucap Dini dengan bijak. ”Ah, akhirnya selesai juga ya masalahnya Bi. Ide kamu top cer banget.” Ucap Dini dengan lega. “Yup, betul sekali. Bianka gitu loh.” Kata Bianka dengan berlagak sombong.
Sepulang sekolah, seperti biasa Dini pergi mengamen bersama Tita, tiba-tiba mereka bertemu dengan Sela dan teman-temannya. Tanpa ba-bi-bu, Sela langsung meraih tangan Dini sambil berkata, “Selamat ya, kamu hebat. Aku melihat kamu di TV saat final lomba puisi tingkat nasional kemarin. Maafkan aku yang telah mengejekmu karena keinginanmu untuk sekolah. Sekarang aku malah ingin sekolah seperti kamu. Belum lulus sekolah aja sudah dapat uang sendiri, banyak pula dari hadiah menang lomba. Tolong ajarin aku donk! Aku juga pingin pintar seperti kamu.” Kata Sela. Dini pun menjawabnya dengan bijak, “Yang penting kamu harus belajar dengan rajin dan jangan putus asa saat menghadapi rintangan.” “Iya, aku baru sadar sekolah itu penting dan berlaku untuk siapa saja, tak terkecuali pengamen dan aku akan berusaha. Tolong bantuannya ya!.”

CREATED BY :
DAD

Tidak ada komentar: