EkSpReSiQ

EkSpReSiQ
Ngantor ala Bisnis d'BCN

Sabtu, 27 Maret 2010

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Definisi Pendidikan Multikultural (Apa itu Pendidikan Multikultural?)
Secara sederhana definisi dari multikultural itu sendiri dapat dipahami sebagai keragaman budaya dalam satu komunitas. Di dalamnya terdapat interaksi, toleransi, dan bahkan integrasi-desintegrasi. Singkat kata, multikultural merupakan suatu fakta yang harus diterima dan diolah secara positif demi perkembangan kebudayaan. Konsep masyarakat multikultural diperkenalkan untuk membedakan dengan pengertian masyarakat mono kultur (mono budaya). Masyarakat mono kultur adalah masyarakat asli (archais) atau etnis yang semua anggotanya begitu baik tanpa pengecualian terikat secara paksa berdasarkan nilai-nilai yang dominan dan kuat dalam struktur masyarakatnya. Sedangkan masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terdiri atas etnis dan kebudayaan yang beranekaragam namun hidup berdampingan. Kehidupan komunitas mereka tidak diatur oleh sistem budaya tunggal dan tertutup, melainkan terdiri atas sistem nilai yang beragam. Terbentuknya masyarakat multikultural tidak terlepas dari migrasi penduduk baru secara besar-besaran.
Sedangkan definisi dari pendidikan multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan yang merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial tentang keragaman kebudayaan yang ada dengan cara-cara yang baik dalam lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan status sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) secara sempit merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" (dibedakan) dan "Non-recognition" (tidak diakui) didapatkan paradigma (pandangan) pendidikan multikultural yang mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Tujuan inti dari paradigma tentang pendidikan multikultural ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas.
Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan teoritis, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan kultur dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, yang dikenal dengan lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme (banyak) kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Tujuan pendidikan multikultural menurut Moeis (2006:IM9) meliputi:
Memperkuat kesadaran multikultural, tanpa kehilangan jatidiri;
Meningkatkan kecakapan dalam interaksi lintas budaya;
Menghilangkan stereotipe, stigma (noda), rasa superioritas diri/kelompok, dan anggapan negatif lain dalam hubungan aantar kelompok;
Memperkuat kesadaran berbangsa dan bernegara dalam dalam konteks dinamika global;
Menjunjung tinggi supremasi hukum;
Meningkatkan kecakapan transformasi diri dan sosial, yang melalui tahap-tahap :
(a) Mengenali diri lingkungan dan sistem yang terkait dengan pola berpikir tentang hubungan antar budaya;
(b) Mengenali bentuk-bentuk power dan control yang mempengaruhi pola berpikir tentang hubungan antarbudaya;
(c) Menilai pengaruh-pengaruh power dan control yang muncul dalam pikiran, sikap dan tindakan tentang hubungan antar etnik, menilai mana pengaruh tersebut yang berguna dalam interaksi antar etnik, mana yang harus ditinggalkan;
(d) Mengambil tindakan transformatif (perubahan) bagi diri dan sosial berdasarkan penilaian yang tepat tentang pengetahuan, sikap dan perilaku yang sesuai dalam interaksi sosial antar budaya.

Pendidikan Multikultural di Indonesia (Mengapa di Indonesia membutuhkan Pendidikan Multikultural?)
“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia”. Dari lagu tersebut dapat kita lihat dan juga harus kita sadari bahwa Negara kita merupakan sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau. Keadaan geografi Indonesia sebagai negara terbesar di antara negara-negara Asia Tenggara yang merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan budaya yang sangat beragam.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menjadi suatu kebutuhan, karena kondisi sosial budaya bangsa dan negara Indoensia yang sangat beragam. Indonesia merupakan negara yang memiliki sekitar 17.500 pulau-pulau besar dan kecil yang membentang dari Timur hingga ke Barat dan sekitar 222,7 juta penduduk yang tersebar lebih dari 6.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat sekitar 300 suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, mempunyai banyak kebudayaan, suku, agama dan lebih kurang dari 665 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3 juta siswa dan 3,31 juta guru.
Melihat keadaan ini harus kita akui bahwa negara ini merupakan sebuah negara yang rawan akan terjadinya konflik. Berbicara tentang konflik, selama 63 tahun merdeka, bangsa ini belum berhenti dalam kecemasan akan perpecahan. Setelah kemerdekaannya sering kali terjadi ancaman akan perpecahan contohnya lahirnya gerakan DI/TII, lahirnya gerakan Papua Merdeka ataupun lahirnya RMS. Ancaman perpecahan tidak hanya terjadi karena lahirnya gerakan pemberontakan akan tetapi juga pertikaian antar suku, ras, agama bahkan lebel partai politik. Seperti yang dapat kita ingat yang terjadi di Kalimantan dimana suku Dayak berkonflik dengan suku Madura atau di Poso yang ditenggarai melibatkan dua kelompok agama yaitu Islam dan Kristen.
Sejarah telah mengisahkan bahwa pada tahun 1928 telah terdapat kesadaran bahwa negara ini merupakan negara yang bhineka dimana terlihat dalam semangat Sumpah Pemuda. Dalam sumpah tersebut tergagas ide bahwa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tidak hanya berasal ataupun semangat dari suatu kelompok atau golongan semata tetapi harus lebih dari itu yaitu berdasarkan semangat ke-Indonesiaan. Kemerdekaan untuk dan harus diperjuangkan oleh seluruh warga negara bangsa ini. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menawarkan sebuah konsep kesatuan tetapi juga menawarkan konsep untuk menyadari perbedaan yang ada. Bukan hanya kesadaran bahwa Indonesia ini harus bersatu tetapi juga melihat bahwa negeri ini akan semakin rapuh disaat hanya memfokuskan diri pada persatuan tanpa menyadari bahwa perbedaan tetaplah perbedaan yang harus juga diperhatikan.
Selain adanya perbedaan kebudayaan yang terjadi di Indonesia sendiri, tetapi juga harus berhadapan langsung pula dengan kebudayaan baru yang ‘asing’, yang berasal dari negeri seberang. Pendidikan multikultural merupakan sebuah tuntutan yang tidak dapat kita tawar-tawar lagi dalam membangun Indonesia baru dalam menjawab semua permasalahan yang telah dan akan dihadapi Indonesia di masa depan. Harus disadari gerak peradaban manusia selalu beriringan dengan pendidikan, dimana gerak budaya dan gerak pendidikan sering kali berjalan bersamaan. Oleh karena itu persiapan untuk menyambut dunia yang semakin mengglobal dan mempersiapkan generasi Indonesia Baru harus dimulai melalui pendidikan, akan tetapi bukan sekedar pendidikan yang ‘biasa’ saja sebagai jawaban akan tantangan Indonesia dewasa ini dan akan datang melainkan pendidikan yang berbasis multikultaralisme yang menjadi alat untuk menjawab tantangan manusia Indonesia masa depan dalam menjalani hidupnya sebagai warga Indonesia yang berbhineka tetapi juga dalam menjawab tantangan sebagai masyarakat global.
Pembelajaran multikultur ini menjadi penting untuk digunakan mengingat proses belajar adalah sesuatu yang tidak ada hentinya sepanjang masih hidup (long life education) sehingga bisa dipastikan bahwa tidak ada manusia yang tamat dari sekolah kehidupan. Adalah pepatah latin yang mengatakan bahwa kita belajar bukan untuk sekolah (lembaga, dengan ujian, ijazah, daftar nilai, penentuan lulus, atau tidak lulus) melainkan untuk hidup (Non scholae sed vitae discimus). Multikulturalisme adalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensi kebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar.
Pendidikan multikultural sangat tepat untuk membangun nasionalisme ke-Indonesia-an pada era global, karena pendidikan multikultural memiliki nilai inti (core value) dalam perspektif lokal maupun global yakni: (1) ketakwaan terhadap tuhan Yang Maha Esa; (2) tanggung jawab terhadap negara kesatuan; (3) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaya; (4) menjunjung tinggi supremasi hukum; dan (5) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal (Moeis, 2006:IM-9). Pendidikan multikultural menurut Kellner dalam Joebagio ( 2005: 356) dirancang untuk mendukung perkembangan keragaman murni dengan memodifikasi kurikulum bidang studi, baik melalui proses penyusunan, pengembangan, maupun pengayaan, yang kesemuanya itu untuk membantu peserta didik dalam memahami sejarah dan kebudayaan bangsa. Dengan demikian diharapkan melalui pendidikan multikultural peserta didik dapat mengenal kebudayaan di negaranya, terlebih-lebih seperti di Indonesia yang memiliki keragaman budaya. Nasikun (dalam Joebagio, 2005 : 358) menjelaskan bahwa dalam perspektif pembelajaran “síntesis multicultural” memiliki rasional yang paling mendasar yang diidentifikasikan ke dalam tiga tujuan, yaitu (1) attitudinal, bahwa pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk mengembangkan toleransi kultural, penghormatan pada identitas kultural, pengembangan sikap budaya yang respossif, serta keahlian untuk melakukan penolakan konflik dan resolusi konflik; (2) kognitive, bahwa pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademik, pengembangan pengetahauan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku cultural, dan kemampuan untuk membangun kesadaran tentang kebudayaannya sendiri; dan (3) instruksional, bahwa pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan melakukan koreksi atas distorsi, stereotype, peniadaan, dan missinformasi tentang kelompok etnik dan kultural yang dimuat dalam berbagai buku dan media pembelajaran; menyediakan strategi untuk melakukan hidup di dalam pergaulan multikultural, menyediakan perangkat konseptual untuk melakukan komunikasi kultural, mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal, menyediakan teknik evaluasi, dan membantu menyediakan klarifikasi serta penjelasan tentang dinamika perkembangan kebudayaan.
Pendidikan multikultural menurut Kellner dalam Joebagio ( 2005: 356) dirancang untuk mendukung perkembangan keragaman murni dengan memodifikasi kurikulum bidang studi, baik melalui proses penyusunan, pengembangan, maupun pengayaan, yang kesemuanya itu untuk membantu peserta didik dalam memahami sejarah dan kebudayaan bangsa. Dengan demikian diharapkan melalui pendidikan multikultural peserta didik dapat mengenal kebudayaan di negaranya, terlebih-lebih seperti di Indonesia yang memiliki keragaman budaya.

Proses Pendidikan Multikultural (Bagaimana Proses Pendidikan Multikultural itu?)
Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam masyarakat akan bisa diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, kalau ingin mengatasi segala problematika masyarakat dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah proses belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat, perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Yaitu proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Ali Maksum, dalam Buku Paradigma Pendidikan Universitas, menjelaskan bahwa ciri-ciri pendidikan multikultural minimal memuat beberapa hal :
Aspek tujuan, yaitu ingin membentuk manusia beradab (budaya) dan menciptakan dan mewujudkan masyarakat yang berbudaya atau berperadaban.
Aspek metode, yaitu metode yang dilaksanakan harus mampu mewujudkan realitas yang demokratis, dalam artian menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis tertentu.
Aspek evaluasi, evaluasi lebih utuh dan kompleks yaitu meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Maksudnya evaluasi didasarkan pada tingkah laku anak didik yang terdiri dari persepsi, apresiasi dan tindakan terhadap budaya.
Atas dasar teori diatas, maka pembelajaran multikultural adalah sebuah model pembelajaran yang dapat dirancang gambaran umumnya sebagai berikut:
Pertama, falsafah yang digunakan adalah falsafah teori belajar humanistik, dan kontruktivistik, dimana proses belajar humanistik adalah proses memanusiakan manusia (siswa) dengan cara-cara yang lebih memberikan kebebasan siswa dalam mengekspresikan pengetahuannya. Sedangkan teori belajar kontruksivistik adalah bahwa belajar tidak semata-mata membangun konseptual menurut cara pandang kognitif, tetapi belajar adalah memperoleh informasi yanag dibangun melalui pengalaman di lapangan.
Kedua, cara kerja yang dipakai dalam proses pembelajaran multikultural adalah dilakukan dengan cara memberikan kesempatan munculnya ide atau gagasan dari siswa. Pemunculan gagasan atau ide dikemas dengan suasana yang menyenangkan atau tidak menakutkan, siswa belajar dengan cara kelompok (group), guru lebih banyak mengamati perilaku atau aktivitas siswa dalam berekspresi terhadap ide atau gagasannya.
Ketiga, sumber materi tidak hanya dihasilkan dari guru, tetapi berasal dari semua realitas yang ada di sekitarnya. Peran guru hanya sekedar fasilitator, mediator dan memberdayakan sarana pembelajaran agar dapat dijadikan sarana untuk mengoptimalkan pengetahuan dan pemahaman siswa.
Keempat, evalauasi tidak hanya dilaksanakan secara instan, evaluasi harus dilakukan secara simultan, utuh dan komprehensif, artinya evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar siswa memahami dan menguasai materi dari guru, tetapi evaluasi juga dimaksudkan untuk sarana evaluasi terhadap kekurangan dan kelemahan guru, sebagai acuan perbaikan kurikulum, dan sarana untuk memperbaiki segala kebijakan dalam pembelajaran.
Ada penjabaran dari beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural yang telah disebutkan dari definisi pendidikan multikultural yang termasuk dalam konteks teoritis, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab utama mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip (prasangka) menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik. Dalam konteks ke-Indonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang berkumpul dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu.
Pembelajaran berbasis multikultur dapat dimulai dengan memperhatikan pada (a) lingkungan fisik, (b) lingkungan sosial, dan (c) gaya pembelajaran.
Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, pendidik dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengatuaran menja dan kursi, tanaman dan musik. Pendidik yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya peserta didiknya akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar.
Lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh pendidik melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antara pendidik dan peserta didik, dan perlakuan adil terhadap peserta didik yang beragam budayanya.
Gaya pembelajaran :
1. Melalui dialog, misalnya, pendidik dan peserta didik mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog juga dapat didiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain.
2. Melalui simulasi dan bermain peran, peserta didik difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang berasal dari etnik, agama, bahasa, atau status sosial tertentu dalam pergaulan sehari-hari.
3. dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitian bersama, dengan melibatkan peserta didik dari berbagai etnik, agama, bahasa, status sosial, dan jenis kelamin yang beragam.
4. Melalui observasi dan penanganan kasus, pendidik dan peserta didik difasilitasi untuk tinggal beberapa hari dalam masyarakat multikultural. Peserta didik diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi diantara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik antara mereka.
Proses pendidikan multikultural di sekolah dapat dilaksanakan dengan proses sebagai berikut :
Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua peserta didik tanpa memperhatikan latar etnik, religi, bahasa, status sosial,dan jenis kelamin mereka. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.
Melalui pendidikan multikultural, peserta didik yang berasal dari berbagai golongan penduduk dibimibing untuk saling mengenal cara hidup, adat istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing.
Dalam konteks masyarakant Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, peserta didik dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Refleksi Kecerdasan Multikultural di Indonesia
Secara umum, kompleksitas masyarakat mejemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa hasil pencapaian yang diperoleh melalui prestasi. Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman.
Sedangkan perbedaan horizontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antar suku. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik. Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, tedapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial-budaya dari sekelompok etnik.
Berbeda dengan perbedaan horizontal, perbedaan vertikal diasumsikan sebagai faktor yang menentukan tercetusnya konflik sosial. Karena status sosial dan ekonomi serta kedudukan politik signifikan dalam setiap interaksi sosial antara kelompok-kelompok etnik. Interaksi sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif, yang sangat ditentukan oleh kadar perbedaan-perbedaan vertikal di antara kelompok-kelompok etnik. Dan bukan dari perbedaan-perbedaan horisontal, sebagaimana yang banyak diyakini selama ini.
Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan semakin kuat menimbulkan prasangka (stereotype negative) yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antarkelompok etnik. Apalagi kalau mengacu konsep dominatif yang lebih menekankan pada aspek kualitatif daripada aspek kuantitatifnya. Di mana suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif, jika kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di daerah (negara) tertentu.
Sehingga dari pola interaksi sosial dalam masyarakat majemuk, jangan terpaku hanya pada perbedaan-perbedaan horisontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau meminimalkan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek sosial budayanya. Seperti penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional, memasyarakatkan batik sebagai identitas nasional gerakan pergantian nama dalam masyarakat Cina, , dengan penataran untuk menanamkan norma-norma bersama yang mengatur tingkah-laku, bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Tetapi hendaknya menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah persaingan dalam memperebutkan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-politik. Karena sumber konflik sosial antara berbagai etnik atau golongan bukan didominasi oleh perbedaan horisontal. Tetapi yang lebih menonjol disebabkan oleh faktor perbedaan-perbedaan vertikal. Karena interaksi dalam perbedaan vertikal antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didominasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka dan ketegangan. Dan apabila tidak segera diantisipasi, maka kondisi itu sangat rentan dimanfaatkan oleh mereka yang tak bertanggung jawab untuk memicu konflik sosial dan kerusuhan massal.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa, yang baik langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri individu.
Ada sentimen-sentimen kesukubangsaan yang memiliki potensi pemecah-belah dan penghancuran di antara sesama bangsa Indonesia. Antara lain karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primordial yang subyektif. Konflik antaretnik dan antaragama yang terjadi, berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi, karena adanya pengaktifan jatidiri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada.
Dari hasil penelitian di Kalimantan dan Maluku ditemukan, karena ideologi keetnikan dan pengaktifan jatidiri etnik. Seperti yang terjadi di Sambas, preman Madura yang mengawali konflik dianggap mewakili suku Madura, sehingga konflik berkembang menjadi konflik antaretnik. Demikian pula yang terjadi di Ambon, dimana bentrokan antara penduduk Ambon dengan penduduk Buton Bugis Makassar, menjadi konflik antaragama. Akhirnya menunjukkan, bahwa masyarakat majemuk tidak pernah menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis, melainkan berpotensi otoriter dan despotis, karena corak etniknya yang beraneka-ragam, dari feodalistis dan paternalistis sampat etnosentris.
Jadi untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dibutuhkan suatu kecerdasan multikultural yang mana hal tersebut harus dimiliki oleh oleh peserta didik agar generasi penerus kita dapat memecahkan permasalahan yang ada agar tercipta masyarakat multikultural yang sepakat untuk selalu dekat. Dengan “sepakat untuk selalu dekat” kekisruhan dan konflik yang berlatar belakang etnis, agama, bahasa, status sosial, atau gender yang telah dapat terpecahkan dapat dihindari untuk dapat terjadi lagi. Dan guru bertugas untuk membimbing peserta didik agar mencapai hal tersebut.
Oleh sebab itu, setiap komponen bangsa harus merupakan sistem terbuka (open system). Artinya, harus selalu mengantisipasi tantangan dan pengaruh dari luar dirinya, baik terhadap tantangan regional maupun global. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan untuk merasa, kemampuan berempati, dan kemampuan pemahaman mengenai multikultural, sebagai inti dari prinsip dialogis. Dan kemampuan tersebut merupakan makna dari kecerdasan multikultural.

Tidak ada komentar: